Pada peristiwa Mei 1998, lebih dari 150 orang perempuan etnis Cina mengalami perkosaan dan pelecehan seksual, demikian catatan sebuah tim relawan kasus Mei 1998, dan kasusnya tak juga kunjung terungkap, hingga kini, 20 tahun kemudian, dan tak ada yang pernah disidangkan.
Ita F Nadia Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan perkosaan Mei 1998 merupakan perkosaan politik di mana tubuh atau seksualitas perempuan dijadikan alat teror dari situasi politik yang kacau.
Peringatan artikel ini mengandung konten kekerasan seksual
Meski dua puluh tahun berlalu, Ita F Nadia mengatakan mendampingi para korban perkosaan Mei 1998, merupakan momen mencekam dan tragis dalam hidupnya. Dia masih mengingat bagaimana mendampingi salah seorang korban, seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang meninggal setelah diperkosa di kawasan Tangerang.
"Dia meninggal di pangkuan saya, dia diperkosa dan vaginanya dirusak, ibu dan kakak perempuannya juga diperkosa tapi sudah meninggal beberapa jam sebelumnya," ungkap Ita.
Ayah dari korban tersebut mengalami depresi.
"Saya dan pendeta mengurusnya. Saya membopongnya ketika didoakan pendeta, memandikannya. Kemudian menunggunya sampai selesai dikremasi. Saya selalu tidak tega (mengingatnya)," kata Ita.
Korban merupakan keturunan Tionghoa yang dikenal dengan sebutan 'Cina Benteng'. Tangerang merupakan salah satu tempat terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998, selain Jakarta Utara, Jakarta Barat dan sejumlah wilayah dan kota lain seperti Surabaya dan Medan.
- Presiden Jokowi akui banyak kasus pelanggaran HAM belum tuntas
- Tragedi Mei 1998 : Kenangan dua ibu yang kehilangan anaknya
- Kerusuhan Mei 1998: "Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?"
Pada 13 Mei 1998 malam, Ita Fathia pertama kali mengetahui terjadinya perkosaan massal setelah menemui korban kejadian di kawasan Jembatan Tiga, Jembatan Empat dan Jembatan Lima di Jakarta Barat. Ia menemukan korban itu setelah mendapatkan informasi dari sejumlah orang melalui telepon anonim.
"Pertama telepon dari laki-laki katanya ada perkosaan terhadap etnis Tionghoa di Jakarta Utara. Kami pikir itu bohong, namun sekitar jam 8 ada lagi perempuan menelpon mengatakan ada perkosaan di Jembatan Tiga di Cengkareng," jelas Ita.
Akhirnya malam itu, Ita dan dua rekannya dari Kalyanamitra pun memutuskan untuk pergi ke kawasan Cengkareng dengan taksi meski belum mengetahui dengan jelas rumah para korban.
"Waktu itu di Jakarta Barat sudah ramai, taksi tak bisa masuk, demi keamanan supir taksi menyarankan saya menggunakan syal sebagai kerudung ketika keluar taksi," kata Ita.
Dia dan dua rekannya pun berjalan kaki ke Jembatan Tiga. Jalanan ketika itu sudah kacau, banyak orang menggedor pintu toko. Sampai di Jembatan Tiga, Ita bertemu dengan camat setempat yang menunjukkan rumah korban perkosaan.
"Sebelumnya dia menyarankan jangan ke sana karena berbahaya, tapi setelah tahu kami ingin mendatangi korban, camat itu mendatangi saya dan mengatakan ibu masih ingin ke sana, dia menunjuk arah beberapa rumah, yang korban di sana, sana dan sana," jelas Ita.
Ketika mendatangi rumah pertama yang ditunjuk camat tersebut, Ita bertemu dengan korban perkosaan yang diperkirakan berusia 18-19 tahun.
"Tatapan matanya sudah kosong, saya lalu mendatangi rumah kedua dan ketiga, benar saja saya menemukan korban dalam keadaan yang sama: sudah mengucurkan banyak darah. Mereka dari kalangan Cina miskin," kata mantan Direktur Kalyanamitra ini.
Ita mengaku saat itu kebingungan dalam menangani korban karena belum pernah punya pengalaman menangani kasus perkosaan seperti itu.
"Akhirnya saya tanya apakah punya betadine untuk luka, dan tutup pintu dulu, sebelum mencari bantuan," jelas Ita.
Setelah memberikan pertolongan pertama sebisanya pada para korban di Jembatan Tiga, Ita dan rekannya kembali ke kantor. Di sana para relawan menerima banyak telepon kasus perkosaan.
Selama 13-14 Mei 1998, kasus perkosaan banyak dilaporkan. Ita pun mendatangi para korban yang diantaranya adalah mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang diselamatkan di pastoran.
"Sampai di sana, ada dua perempuan dadanya ditutup plastik hitam, kaki saya bergetar ketika membukanya, mereka menderita luka pada payudaranya dan vaginanya, semuanya mengeluarkan darah," ungkap Ita.
Dia bersama rekannya dari tim relawan dan pastor tersebut berupaya membawanya ke rumah sakit, namun dalam perjalanan mereka memutuskan untuk membawa korban langsung ke bandara untuk diterbangkan ke Singapura.
"Karena mereka mengalami pendarahan hebat, dan sampai di bandara mereka dapat diterbangkan ke Singapura, tanpa paspor ataupun visa," jelas Ita.
Situasi bandara Soekarno-Hatta saat itu sangat padat dan kacau, dan banyak orang yang mencari tiket untuk segera pergi dari Indonesia.
Ketika melintas di kawasan Jakarta Barat, dalam perjalanan kembali dari bandara, Ita mengatakan melihat sebuah mobil yang dikerumuni massa dan penumpangnya suami istri dan seorang anak. Mereka pun ditolong dan diantar ke bandara.
Di kawasan Cengkareng, Ita mengatakan melihat banyak perempuan keturunan Cina yang berlarian sambil berteriak. Ita dan sejumlah rekannya pun menghentikan kendaraan untuk berupaya menolong korban.
"Tiba-tiba muncul seorang yang dipanggil pak haji, dia membantu kami menolong perempuan-perempuan tersebut dan membawanya ke tempat tinggalnya," kata Ita.
Untuk menangani korban, dibentuk Tim Relawan Untuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Tim ini mendapatkan bantuan dari sejumlah organisasi keagamaan Katolik, Kristen, Buddha, Konghucu serta petugas medis. Salah satunya dr. Lie Dharmawan.
Ita mengatakan komunitas agama dan medis memberikan tempat penampungan yang aman bagi para korban. Kemudian korban ditangani luka fisiknya, setelah itu pemulihan trauma.
Dr Lie mengatakan ada beberapa korban perkosaan yang mengalami trauma berat dan sangat ketakutan jika melihat laki-laki.
Dia lebih banyak menangani para korban yang memerlukan pembedahan sesuai dengan keahliannya.
"Kasus yang saya ingat, ada korban yang menjatuhkan diri dari lantai tiga sehingga mengalami patah tulang iga. Ada gadis berusia belasan tahun yang kakinya sudah bau dan bernanah karena terkena beling ketika berlari untuk bersembunyi," jelas dokter Lie.
Sandyawan Sumardi, anggota TGPF mengatakan sempat dihubungi dokter Lie ketika terjadi kasus kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi universitas swasta di Jakarta.
"Korban mengalami luka pada perut dan vaginanya karena ditusuk besi penyangga gorden, korban selamat meski mengalami pendarahan yang cukup hebat," kata Sandyawan.
Kekerasan seksual itu terjadi setelah 15 Mei. Korban yang mengalami trauma kemudian didampingi oleh Sandyawan dan salah satu penyintas kekerasan seksual lainnya.
Penyintas yang menjadi 'pendamping' korban tersebut menurut Sandyawan, mengalami perkosaan di taksi selama sembilan jam. Lalu dia dibuang di suatu tempat dan diantar pulang oleh supir taksi.
"Supir melihat ada KTP dan alamat lengkapnya, jadi diantar keluarganya. Saya mengetahuinya setelah dihubungi susteran," kata Sandyawan yang juga pendiri Tim Relawan Untuk Kemanusiaan.
Bertemu presiden dan utusan khusus PBB
Sepanjang Mei 1998, Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan melakukan pendataan para korban perkosaan tak hanya di Jakarta, namun juga di Medan dan Surabaya. Jumlah korban mencapai 150 orang, namun diperkirakan banyak yang tidak melaporkan kasusnya.
Dibantu Prof. Saparinah Sadli yang juga anggota tim relawan, Tim bertemu dengan Presiden BJ Habibie.
Dalam pertemuan itu, Habibie secara khusus bertanya mengenai kekerasan seksual yang dialami perempuan keturunan Cina.
"Ya saya ingat, saudara saya (seorang dokter perempuan yang dia sebut namanya) juga pernah menceritakan hal serupa. Dia tidak bohong pada saya", ujar Habibie seperti dikutip dari laporan Komnas Perempuan terhadap Tragedi Mei 1998.
Setelah itu Habibie bersedia membuat permintaan maaf atas nama pemerintah. Sikap Habibie itu dipertanyakan oleh Letjen Sintong Pandjaitan yang saat itu menjadi penasihat militer presiden.
"Pak apakah hal ini tidak perlu dibahas di sidang kabinet terlebih dulu?" Namun Habibie menjawab "Can I have my own opinion? Kebetulan saya setuju dengan ibu-ibu tokoh masyarakat ini". Begitu kisah Ita Fathia nadia.
Saat itu juga, permohonan maaf disusun untuk dibacakan di depan wartawan di Istana. Selain menyatakan mengutuk dan meminta maaf atas kerusuhan Mei kepada para korban, presiden juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta, dan keputusan untuk mendirikan Komnas Perempuan.
Ita Nadia dan Sandyawan menjadi anggota TGPF, namun Ita kemudian keluar setelah anggota TGPF dari kepolisian bersikeras untuk bertemu dengan korban perkosaan.
Sebelumnya Tim telah berupaya untuk bertemu dengan pelapor khusus kekerasan perempuan PBB, Radhika Coomarswary, di Sri Lanka. Hasil pertemuan itu, tim diminta untuk memfasilitasi laporan tersebut yaitu Asia Pasific Women Law and Development di Bangkok, Thailand.
Radhika kemudian membuat laporan ke Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa Swiss, dan melakukan investigasi ke Indonesia pada November 1998.
"Saat itu kami mempertemukan korban dengan Radhika, ada beberapa yang bersedia dan kami berupaya agar pertemuan berlangsung tertutup, bahkan ada yang memberikan kesaksian di dalam mobil box agar identitasnya tidak diketahui media," ujar Ita.
Tak hanya kasus perkosaan Mei, kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh, Papua dan Timor Leste juga dilaporkan ke PBB.
Kesaksian di depan komunitas internasional juga pernah disampaikan seorang korban yang mengalami perkosaan selama sembilan jam di dalam taksi. Korban yang didampingi Sandyawan dan Karlina Supeli, menyampaikan kesaksian di depan komunitas internasional di PBB Jenewa Swiss dan juga Kongres AS Bersama dengan penyintas dan keluarga korban Mei 1998.
Namun, setelah memberikan kesaksian tersebut, dia tak dapat kembali ke Indonesia karena masalah keamanannya.
"Sampai di Singapura dia tak bisa pulang, dikejar dan sampai detik ini tak bisa pulang, saat itu dari Singapura kembali ke AS setelah dijemput tunangannya," ungkap Sandyawan.
Ancaman dan pembunuhan korban perkosaan
Berbagai ancaman diterima oleh para korban, saksi dan juga pendamping yang berbicara mengenai perkosaan Mei 1998 secara terbuka.
Sandyawan mengatakan salah seorang saksi yang melihat kekerasan seksual ketika berjalan kaki dari bandara menuju rumahnya, pernah memberikan kesaksian di media nasional.
"Dia itu mahasiwi dan diberikan pakaian laki-laki oleh seorang pak haji supaya selamat, lalu setelah tampil di media, malamnya dia dikejar oleh seseorang dan ketakutan, lalu lari ke luar negeri," jelas Sandyawan.
Pada Oktober 1998, seorang anggota tim relawan, Ita Martadinata Haryono (18 tahun) dibunuh satu minggu sebelum menyampaikan kesaksian di PBB bersama dengan ibunya Wiwin Haryono dan komunitas Buddha.
Ita Nadia dan Sandyawan yang pertama datang ke rumah Ita Martadinata di kawasan Sumur Batu Jakarta mengatakan, dia meninggal akibat luka pada bagian leher dan vagina.
"Ketika saya ke kamarnya, darah Ita masih hangat, " kata Ita Nadia.
Ita dibunuh ketika pulang sekolah. Pembunuhnya sampai saat ini tak pernah terungkap.
Setelah pembunuhan Ita Martadinata, para relawan pendamping diminta untuk tidak berbicara tentang kasus perkosaan sementara waktu, sampai situasi mereda. Semua data dan bukti pun disimpan dengan rapi.
"Semua hardisk yang berisi data kasus perkosaan dicopot lalu disimpan di luar kantor," kata Ita.
Dua hari setelah pembunuhan Ita Martadinata, kantor Kalyanamitra dibobol orang yang berusaha mencuri hard disk.
Setelah kejadian itu, Ita Nadia mendapatkan telepon ancaman dari seseorang yang mengancam untuk memperkosanya dan menculik anaknya.
"Kalau kamu tidak berhenti bicara tentang perkosaan, saya akan memperkosa kamu dan saya akan ambil dua anak kamu," kata Ita, mengisahkan lagi ancaman itu.
Menurut Ita, bahkan ada orang yang datang ke sekolah anaknya, mengaku diminta menjemput, namun kepala sekolahnya tak mengizinkan.
Anak-anaknya kemudian diungsikan ke Yogyakarta, di rumah orang tua Ita.
Ancaman melalui telepon juga beberapa kali diterima dr. Lie bahkan sampai satu tahun setelah kerusuhan Mei terjadi.
"Halo dokter Lie ini Cina ya, sekarang ini Cina-Cina enak ya boleh bersuara seenaknya, ngomong seenaknya," demikian salah satu telepon gelap itu seperti ditirukan dr. Lie.
"Malam berikutnya, ada telepon lagi, bilangnya, 'dokter Lie saya ini jenderal lho membawahi preman-preman dan saya akan mengirimkan preman yang saya bina untuk membawa hadiah'".
Mendengar kata hadiah, dr. Lie langsung teringat granat aktif yang diletakkan di depan kantor Sandyawan.
"Granat itu dijinakkan oleh gegana polisi," kata dia.
Dr. Lie akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jerman dan tinggal di sana selama setahun.
Sementara Ita melawan teror tersebut dengan menyampaikan pernyataan melalui televisi.
"Saya bilang di TV bahwa saya tidak akan berhenti mengurus perkosaan 98 dan tidak akan takut menghadapi siapapun, dan kami para relawan pun masih terus mengurusi korban," kata Ita.
Kondisi korban
Sejumlah korban yang sempat didampingi Ita kembali membangun kehidupannya yang sempat hancur karena perkosaan.
"Yang mahasiswi keduanya sudah lulus dan bekerja, ada juga yang akhirnya memilih tinggal di AS, " kata Ita.
Dalam laporan Komnas Perempuan yang berjudul Disangkal!, dikisahkan seorang korban dengan nama samaran Lani, seorang pedagang kue yang diperkosa lalu diselamatkan Haji Ramli (bukan nama sebenarnya).
Ketika mengetahui Lani merupakan korban perkosaan, suaminya tidak mau mengakui dia sebagai istrinya, tidak mau menyapa dan bahkan mengusirnya karena dianggap sebagai pembawa petaka dan aib. Lani pergi bersama tiga anak dan ibunya mendatangi Pak Haji yang membantunya menyewakan sebuah rumah.
"Dia sempat ingin bunuh diri, namun teringat ibu dan anak-anaknya. Dengan bantuan keluarga Pak Haji, Lani perlahan kembali bangkit dari trauma. Bermodalkan uang pinjaman dari Pak Haji, Lani pun kembali berjualan, dan bisnisnya semakin berkembang," kisah Ita lagi.
Kepada pendampingnya Lani mengatakan "Sampai sekarang saya tidak habis pikir, mengapa hanya karena pergantian presiden (Soeharto), ada segelintir orang tega memperkosa keturunan Cina dan membakari rumah orang Cina? Mengapa ada orang yang tega menelanjangi dan memperkosa seorang perempuan beramai-ramai, seperti binatang?"